13 Jul 2011

Reha: "Selamat datang, bahagia"

ini another cerita yang tiba-tiba kepikiran di otakku akhir - akhir ini. pas di jalan, pas mau tidur, pas bengong, kepikiran cerita ini terus. di note ya: ini bukan kisah nyata.
*yah walaupun tokohnya juga nyerempet2 tokoh aslinya sih. hehe
selamat baca :)


"Bulan Ramadhan kaya gini emang enak banget. Hawanya, suasananya, perasaannya, temen-temennya, semuanya! Asik. Aku suka bangeeeeet ahh!!," kata Reha panjang lebar kepada teman-temannya saat hari pertama tarawih.
"Iya, Re. Emang enak banget. Eh, Ramadhan tahun lalu kan kamu punya gebetan tuh. Si kakak cakep itu tuuuu. Siapa namanya?" Mala menimpali.
"Hah? Waaaa iyaiya. Namanya Mas Awin. Aku juga baru tahu namanya beberapa hari yang lalu lho." kata Reha sambil tertawa.
"Iya. Waktu itu aku ama Mbak Reha ke rumahnya lho. Baru tahu deh kalo namanya Mas Awin." Gia ikut ramai membicarakan Mas Awin.
Adzan berkumandang. Sholat tarawih akan segera dimulai. Aku, Mala, dan Gia merapikan mukenah dan tempat masing-masing. Perasaanku sangat bahagia. Di sini semua orang dengan gembira bersama Ramadhan.
***
Sholat Tarawih selesai. Sekarang sebagian besar jama'ah bersiap-siap untuk tadarus (membaca al-qur'an setelah sholat tarawih), termasuk aku dan teman-temanku.
"Wohooo rame yaa. Anak-anak pada dateng semua kan ya? Ngumpul sini yok." Ibe tiba - tiba datang dan nyeroscos ngga karuan.
Ibe, cowok yang bisa dibilang paling deket ama aku. Kita kenal udah lama banget, dari kecil. Dan dia itu cowok yang protektif banget ama aku, padahal aku bukan pacarnya lho. Sebenernya dia juga udah punya pacar. Tapi ngga tahu kenapa dia tetep lebih suka ngobrol dan jalan ama aku dibanding sama pacarnya sendiri. Cowok yang aneh!
"Iya, nih. Rameeee. Anak - anak cowok yang lain mana, Be?", Gia menimpali kata-kata Ibe.
"Itu tuh ada. Bentar ya.", Ibe pun pergi memanggil teman-teman cowok yang lain untuk berkumpul di pojok Mushola, tempat aku, Gia, dan Mala, serta remaja perempuan lainnya.
Sambil menunggu teman - teman yang lain, aku dan Gia sibuk memperhatikan orang - orang yang lalu lalang, ada suami istri yang sedang asyik mengobrol, anak-anak kecil yang berlarian, Bapak-Bapak yang sibuk membicarakan pembangunan Mushola, Ibu-Ibu yang menyiapkan kue dan minuman untuk jamaah lain, beberapa orang yang bersalaman lalu tertawa bersama, sampai tiba-tiba mataku tertuju pada sosok itu. Lelaki itu. Mata itu. Tanpa sadar bibirku tersenyum kecil.
"Mbaaaaak! Mbaaaaak! Itu tuh ittuuuuu...", kata Gia setengah berteriak sambil menepuk pundakku.
Hmm, sepertinya Gia melihat orang yang sama dengan orang yang aku lihat. Dia adalah cowok yang kami sebut "kakak cakep". Ya, Mas Awin.
Setelah teriakan heboh Gia, Mas Awin menoleh ke arah kami. Entah karena mendengar teriakan Gia atau karena memang berniat mengedarkan pandangan. Mas Awin melihatku. Lebih tepatnya memergoki ku yang terus melihat ke arahnya. Mas Awin tersenyum!
"Eh?", kataku karena kikuk. Seperti biasa, aku selalu bingung harus bagaimana saat Mas Awin tersenyum padaku, sama seperti sepanjang Ramadhan tahun lalu.
"Mbak, disenyumin tuh." kata Gia setengah berbisik sambil tersenyum ke arah Mas Awin, alih-alih membalas senyum Mas Awin untukku.
Tersadar dari ke-kikuk-an ku yang ngga beres, aku membalas senyum Mas Awin.
Tunggu! Dia memang tersenyum padaku, pada Reha. Tapi bukan itu saja, sekarang, saat ini, Mas Awin sedang berjalan ke arahku. Ke arahku? Yang benar sajaaaa!! Otakku mulai diserang dengan pikiran-pikirannya sendiri.
Aku menenangkan diri sendiri. Sementara teman - teman yang lain sudah mulai berkumpul, saling sapa, dan tertawa. Mas Awin tiba-tiba hadir di tengah-tengah kami. Mengucap salam kepada kami sambil tersenyum. Senyum ituuu, subhanallah :)
"Assalamu'alaikum. Maaf ganggu ya." salam Mas Awin yang membuatku sedikit nervous.
"Wa'alaikumsalam.", jawab teman-teman serentak.
"Kenapa ni, Mas? Ada yang bisa dibantu?", Dehan balik bertanya pada Mas Awin sambil melirik nakal ke arahku.
"Hmm. Bisa ngobrol sebentar?", tanya Mas Awin kepadaku.
Hah? Ngobrol? Sama aku nih? Tapi emang matanya ngelihat ke aku sih. Tapi mau ngapain? Kenapa? Duh duh duh!!
"Eh? Sama saya? Kenapa, Mas?", tanyaku masih setengah kaget.
"Ngga. Ngga ada apa-apa. Cuma mau bicara sebentar. Di sana aja ya?", kata Mas Awin sambil menunjuk tempat yang agak jauh dari teman-teman.
"Oh, oke.", jawabku sambil mengikuti Mas Awin.
Terdengar tawa tertahan dan ledekan dari teman-teman. Belum lagi 'efek batuk' dari beberapa teman cowok. Mereka berusaha menahan tawa dengan senyum nakalnya, kecuali Ibe tentunya, yang menatapku dan Mas Awin bergantian, tanpa senyum!
***

"Ada apa ya, Mas?", kataku tak sabar setelah agak jauh dari teman-teman.
"Maaf. Aku bikin kamu takut ya?", tanya Mas Awin.
"Eh? Nggaaaa kok. Cuma penasaran ama kaget aja."
Seandainya aja Mas Awin tahu aku udah deg-degan ngga karuan nih.... Duh duh!
"Hmm. Aku Awin.", kata Mas Awin sambil mengulurkan tangannya.
Jujur saja, otakku masih belum siap menerima kata-kata itu. Mas Awin memperkenalkan diri? Jadi dia kira aku ngga tahu namanya? Tapi buat apa?
Setelah otakku loading beberapa detik, aku menyambut uluran tangannya, sambil tersenyum tentunya.
"Aku Reha."
"Oke, berarti sekarang kita udah kenalan. Makasih ya. Aku mau anterin Bunda pulang dulu, nanti aku balik ke sini lagi. Kamu masih lama khan di sini, Re?"
"Iya kok. Masih mau ngumpul ama temen-temen dulu. Kenapa?"
"Nanti ada yang mau aku tanyain. Kita lanjutin nanti ya. Bunda udah nungguin tuh.", katanya sambil menunjuk ke arah luar, tempat Bundanya menunggu.
"Oh. Iya. Hati-hati, Mas."
"Iya. Assalamu'alaikum." Mas Awin pamit pulang dengan senyumnya itu.
"Wa'alaikumsalam." jawabku dengan senyuman semanis mungkin, ngga mau kalah dengan Mas Awin.
***

Aku kembali ke tempat teman-teman berkumpul. Sudah siap dengan ledekan dari mereka. Benar saja, setelah duduk dan berkumpul, mereka langsung memborbadirku dengan pertanyaan, ledekan, dan dorongan-dorongan kecil di pundakku sambil tertawa. Aku kualahan. Cuma bisa senyum-senyum menahan malu. Tapi teman-teman tak menyerah, mereka masih saja ramai menyerangku dengan berbagai pertanyaan.
"Ngomong apa aja, Mbak?" tanya Gia.
"Kok tadi pakai salaman segala? Ada perjanjian apaaa hayoooo??" tanya Dehan yang terkenal jahil luar biasa.
"Terus terusss?? Gimana ntar perkembangannya? Cieeee Mbak Rehaa." Bimo tak mau kalah.
"Seneng dah kamuuuuu yaaaa." kata Dean, adik laki-laki ku.
Aku tak tahu harus menjawab pertanyaan yang mana terlebih dahulu. Bingung bagaimana meredakan kehebohan ini. Dan jujur saja, sisa nervous masih ada dalam diriku. Sepertinya harus ada seseorang yang menyadarkanku dan membuat otak dan bibirku -yang daritadi tersenyum terus- kembali normal.
"Aaaaaaahhh. Kaliaaaaan lhooo. Ngga ada apa-apa kok. Mas Awin cuma mau kenalan aja." kataku berusaha meredakan keadaan "pasca perkenalan" ku.
Tapi ternyata salah. Kehebohan itu justru makin menjadi-jadi. Entah kenapa kata-kata "ciee" muncul lebih dari 100 kali. Kalau tidak ingat sedang di Mushola, mungkin mereka sudah bertepuk tangan dan melakukan atraksi lainnya. Untungnya sekarang tingkah mereka tidak se-ekstrim itu. Dan sebelum jama'ah lain memperhatikan dan menegur kehebohan ini, aku harus menghentikannya. Baru saja aku akan bicara, tiba-tiba Ibe menegur mereka.
"Heh! Ayok mulai tadarus nya. Ini Mushola ya, kalian ribut banget!" katanya dengan sangat ketus.
Aku dan teman-teman lain kaget. Memang cuma Ibe yang daritadi diam saat yang lainnya sibuk membuat kehebohan. Entah karena dia sedang bad mood atau karena Mas Awin yang tiba - tiba datang.
"Waduh. Ada yang jealous nih kayaknya.", lagi-lagi Dehan ngomong seenaknya diikuti dengan senyum kecil teman-teman yang lain.
"Udah ah. Mulai yuk." kataku berusaha meredakan suasana.
Akhirnya aku berhasil meredakan tingkah mereka. Sekarang secara bergantian kami membaca Al Qur'an, seperti yang dilakukan jamaah lainnya. Sampai tiba-tiba Bu Iyat, salah satu jamaah di sini, memanggilku.
"Mbak Reha, ada yang nyari tuh."
"Nyari saya, Bu? Siapa?"
"Iya. Ngga tahu siapa. Bukan orang sini kayaknya. Cowok, Mbak. Tuh orangnya di depan.", kata Bu Iyat sambil menunjuk ke arah cowok yang sepertinya aku kenal.
"Iya, Bu. Makasih."
Ya Tuhaaaaaan. Itu Serya??? Seryaaa? Ngapain di sini? Duhhhh. Hatiku mulai ngga tenang. Deg-degan berlebihan, bingung harus bagaimana.
Serya, sahabat sejak SD, teman terlamaku. Serya, mantan pacarku yang terakhir. Serya, yang membuatku harus menjadi perempuan tegar dan kuat karena sikapnya. Serya. Dia SERYA!
Aku menghampirinya dengan ragu. Memang tak ada dendam, karena prinsipku "firiend is friend". Kejadian selama beberapa bulan, ngga akan mengubah status sahabat yang bertahun-tahun menjadi musuh. Tapi tetap saja membuatku agak kikuk bertemu dengannya.
Serya menyambutku dengan senyum.
"Hai, Re."
"Hai. Ngapain ke sini, Ya?"
"Hmm. Maaf. Mungkin ngga seharusnya Serya nyariin Reha ke Mushola kaya gini. Tapi ada yang harus Serya omongin. Penting, Re."
"Hah? Ngomongin apaan? Emang segitu pentingnya ya, Ya?", perasaanku mulai tidak enak.
"Iya. Penting banget buat Serya. Reha ada waktu sekarang? Bisa ngobrol di mobil?"
Ini anak bener-bener deh yaaaa!! Ngga ngerti apa kalau aku udah cukup denger dia ngomong selama ini, dan aku udah bosen!! Tapi anehnya, aku emang ngga pernah bisa ngga acuh sama Serya.
"Sekarang, Ya? Tapi Reha mau tadarus dulu. Ditungguin juga nih ama yang lain. Kalau Serya mau ya tungguin aja. Tapi mungkin masih lama. Kalau males nungguin ya nanti sms aja yang mau diomongin."
Aku tahu Serya pasti malas menunggu lama. Setelah ini dia pasti pulang dan aku bebas dari perasaan aneh ini. Tapi ternyata...
"Oke. Serya tungguin, sampai jam berapa pun. Ngga bisa lewat sms, ngga bisa lewat telepon. Ngga bisa ditunda lagi. Serya harus ngomong ama Reha malem ini. Reha tadarus aja dulu, Serya nunggu di mobil ya."
JLEB!
Ya Allaaaaah. Apalagi ini? Serya kenapa jadi berubah gini? Apa sih yang mau diomongin?
"Yauda sih. Terserah Serya. Reha masuk dulu ya.", kataku seolah tak peduli.
Pikiran-pikiran aneh mulai lalu lalang di otakku. Perasaanku jadi aneh dan tak beraturan. Deg-degan, kangen yang terbalas, senang, bingung, takut, semuanya berkecamuk.
"Siapa, Mbak? Serya ya? Ngapain dia nyari kamu lagi?" kata Dean.
Dean benar-benar membenci Serya. Lebih tepatnya Dean dan Ibe. Mereka menganggap Serya adalah cowok angkuh dan culas. Pintar buat alibi untuk bohong ke aku dan akhirnya bikin aku sakit hati. Jangankan melihat Serya, mendengar namanya disebut saja, muka Dean bisa berubah jadi galak.
"Iya, itu Serya. Ngga tahu deh mau ngapain. Katanya mau ngomong penting. Tuh mau nungguin di mobil sampai kita selesai tadarus. Yah, palingan juga ntar bosen nunggu terus pulang deh, Dean. Udah nyantai aja." kataku berusaha menenangkan.
"Mau ngapain lagi sih dia, Re?" Ibe mulai agak emosi.
"Nggaaaa. Ngga ngapa-ngapain kok. Udah ah. Ada yang tadarus nih. Ngga enak kalo kita ribut sendiri."
Dean berdiri dan berjalan keluar. Jangan - jangaaaan...
"Mau ke mana, Dean?", tanyaku.
"Keluar sebentar. Kamu diem di sini. Mas Ibe juga jangan ikut, jaga Mbak Reha aja di sini.", kata Dean bertubi-tubi setelah melihat Ibe ingin menyusulnya.
"Jangan aneh-aneh, Dean.", kataku berusaha setenang mungkin.
Dean berbalik dan keluar Mushola. Di pikiranku hanya ada Dean dan Serya. Apa yang akan dilakukan Dean kepada Serya? Walaupun badan Dean lebih besar dari Serya, tetap saja Serya itu lebih tua. Aku terlalu khawatir sama Dean.
"Mbak Reha asik banget ya malem ini disamperin 2 cowok keren." kata Mawar tiba-tiba.
"Iya nih. Jadi iri yaaaa." kata Diah menimpali.
"Kalian apaan sih. Berlebihan." kataku berusaha mengelak.
Seandainya mereka tahu kalau kedatangan 2 cowok itu justru bikin pusing, bikin otak sama hatiku rajin banget berantem malem ini, bikin Ibe uring-uringan, bikin Dean emosi, aaaaaah!
Beberapa menit kemudian Dean kembali. Aku bersyukur dia baik-baik saja. Tadinya aku berpikir dia dan Serya akan...ah sudahlah lupakan.
***

"Serya. Buka pintunya!" Dean menghampiri Serya di mobilnya.
"Eh, Dean. Kenapa?" tanya Serya santai.
"Mau ngapain nyariin Mbak Reha??" kata Dean menahan emosinya.
"Ngga ngapa-ngapain kok. Aku cuma mau ngomong sama dia."
"Aku ngga mau tahu deh kamu ngomong apa sama Mbak Reha. Tapi kalau sampai Mbak Reha kenapa-kenapa dan kamu macem-macem, aku ngga bakal diem aja!"
"Iya, Dean. Ngga bakalan aku apa-apain kok Mbaknya kamu."
"Oke. Aku pegang kata-katamu. Selamat nunggu. Eh, tapi kayaknya kamu bakal bosen trus pulang duluan. Hhh." kata Dean sinis sambil berlalu meninggalkan Serya.
Serya hanya menghela napas. Ia sama sekali tak heran dengan perlakuan Dean. Ia juga tidak berniat untuk pulang tanpa berhasil bicara dengan Reha.
***

"Abis ngapain, Dean?" kataku berusaha mencairkan suasana hati Dean.
"Cuma ngomong dikit sama Serya. Udah deh, lanjut tadarusnya aja." kata Dean santai.
Aku heran. Bagaimana Dean bisa sesantai itu sementara aku cemas memikirkannya. Sebenarnya aku cukup tersanjung, adik laki-lakiku satu-satunya sangat memperhatikan dan menyayangiku. Tapi kalau sudah begini keadaannya, lebih baik punya adik yang cuek saja deh.

Alih-alih melupakan kejadian barusan, kami melanjutkan tadarus. Beberapa ada yang sambil mengemil kue yang sudah disiapkan, beberapa ada yang mengobrol kecil, sementara yang lainnya menunggu giliran tadarus. Keadaan sudah mulai tenang sampai kami (lagi-lagi) dikejutkan oleh kedatangan Mas Awin yang menemuiku.
"Re, ada waktu sebentar? Ada yang mau ditanyain nih.", kata Mas Awin.
"Iya, Mas. Nanya apa?"
"Hmm, jangan di sini deh. Ngga enak ama yang lain. Situ aja ya."
"Oh, iya. Yaudah yuk."

"Nanya apa, Mas?", tanyaku setelah menjauh dari teman-teman.
"Boleh tahu no hape kamu?"
Aaaaaaaaaaaakkkkk yaampuuun. Ini apa-apaan, Ya Allah. Aku ngga lagi mimpi khan ya? Kenapa malem ini semuanya jadi campur aduk gini????
"Boleh. Tapi buat apa ya, Mas?"
Oke! Ini pertanyaan paling bodoh deh. "Buat apa???" Sok jaim banget ini mah!!
"Buat disimpen. Berapa?" kata Mas Awin sambil tertawa kecil.
Lalu aku menyebutkan nomor hape dan Mas Awin mencatatnya. Aku ingin balik menanyakan nomor hape Mas Awin, tapi aku mengurungkan niat. Entah kenapa, aku merasa kalau Mas Awin nanti pasti secepatnya akan menghubungiku. Jadi aku tidak perlu bertanya lagi ,kan?
"Oke. Makasi ya, Re. Kalau gitu aku tadarus dulu yaa. Kamu juga kan?"
"Iya. Mas Awin tadarus bareng Bapak-Bapak itu nih?"
"Iya. Ngga enak kalau bareng remaja. Yaudah ya." kata Mas Awin sambil berlalu menuju kelompok tadarus yang lain.

Seperti dugaanku. Teman-teman bertingkah seperti saat pertama kali aku dan Mas Awin ngobrol. Hanya saja saat ini lebih mudah diredakan karena aku bersikap biasa saja, tidak tersenyum malu-malu seperti tadi. Bukannya aku tidak senang, tapi aku berusaha menahan diri agar tidak menjadi bahan ledekan mereka. =D
Satu-satunya yang tidak bisa kuredakan adalah ekspresi marah di wajah Ibe. Dia menatapku seolah aku adalah anak kecil yang belum boleh lepas dari pengawasannya.
***

Setelah semua mendapat giliran membaca Al-Qur'an, kami membereskan meja dan bersiap untuk pulang. Aku hampir lupa kalau ada Serya yang menungguku, kalau Dean tidak menanyakan hal itu.
"Serya masih nunggu ngga?" tanya Dean.
"Mana sih dia?" Ibe akhirnya angkat bicara juga.
"Ngga tahu. Aku malah lupa kalau ada janji sama dia. Habis ini aku keluar duluan deh." jawabku.

Hapeku berdering. Ada pesan masuk. Dari nomer asing.

Udah mau pulang ya, Re?
-awin-

Eeeeeeeehhh. Ternyata dari Mas Awin. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. Mas Awin membalas senyumku. Aku mengetikkan pesan untuknya.

Iya, Mas. Ini temen-temen udah mau pulang.

Lalu aku dan teman-teman keluar Mushola. Aku memastikan apakan Serya masih menunggu atau tidak. Di sana, mobil itu, ya Tuhan.
"Mobilnya.. Kenapa pakai mobil yang itu sih!!", aku bergumam gelisah.
"Emang kenapa sama mobilnya?", tanya Ibe penasaran.
"Mobilnya bagus kok, Mbak. Mbak Reha pengennya yang kaya gimna?", tanya Mawar.

Bukan masalah mobilnya bagus atau ngga. Mobil itu, mobil yang jarang dipakai oleh Serya. Mobil itu, tempat Serya mengucapkan kata sayangnya untukku. Tempat aku dan Serya berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain. Mobil itu, mobil itu saksi aku dan Serya mulai berpacaran.
"Ngga. Ngga ada apa-apa kok sama mobil itu. Kalian pulang duluan ya. Sampai ketemu besok.", kataku.
"Aku tungguin kamu di sini.", Dean langsung menimpali perkataanku.
"Aku juga.", kata Ibe.
"Mbak, kalau sampai kamu diajakin balikan jadi pacarnya lagi, jangan mau! Awas aja sampai aku tahu kamu pacaran lagi sama dia. Awas aja kamu aneh-aneh lagi sama dia!", kata Dean bertubi-tubi.
"Iya,iyaaaa. Ngga akan, Dean."
"Lagian kamu ngapain sih masih mau ngomong ama Serya? Ngga kapok apa pernah disakitin?", emosi Ibe mulai muncul.
"Be, kamu tahu kan aku ama Serya udah temenan bertahun-tahun, dari kita masih sama-sama ngga ngerti apa-apa, dari SD. Kalaupun ada kejadian beberapa bulan yang bikin aku sakit, bukan berarti hubungan sahabatan aku ama Serya yang bertahun-tahun berubah jadi musuh. Ngga ada yang kaya gitu di kamus ku!", kataku membela diri.
"Yaudah, Mbak. Sekarang temuin aja dia dulu. Kita nungguin Mbak kok. Tapi ini anak-anak beberapa pulang duluan.", kata Gia.
"Eh? Ngga usah. Ngga usah nungguin aku. Kalian pulang duluan aja semuanya. Aku ngga apa-apa kok. Ngga bakal ada apa-apa deh, beneraaaan.", kataku mulai panik.
"Udah, Re. Kita tungguin. Sana gih temuin Serya, keburu malem.", kata Mala.
"Oke. Aku ke sana dulu yaaa. Makasih semuanya."
***

Aku berusaha menegarkan perasaan dan menetapkan pendirian. Ini sih uji nyali namanya, kataku dalam hati. Rasa penasaranku sudah terlalu besar. Hal penting apa sih yang ngebuat Serya sampai seteguh ini nungguin aku, sampai dia berani nyamperin aku ke sini?
"Serya." panggilku sambil mengetuk jendela di pintu mobilnya beberapa kali.
"Iya iya." jawab Serya yang ternyata sudah ketiduran selama menungguku.
Serya keluar dari mobil.
"Ngapain masih nungguin Reha? Mau ngomong sepenting apa sih?", kataku.
"Kita ngomong di dalem aja yuk, Re. Ngga enak kalau di luar mobil gini", kata Serya sambil menggandeng tanganku.
"Reha bisa jalan sendiri.", kataku sambil melepaskan genggamannya.
Sekilas aku melihat Dean, Ibe, dan yang lainnya menatap sinis ke arah Serya yang menggandeng tanganku.
"Oh, oke. Maaf. Yaudah silakan."
Aku berjalan ke pintu mobil di seberang dengan heran karena Serya mengikutiku. Mau apalagi dia? Aku menjadi tambah keheranan saat Serya membukakan pintu mobil untukku. Aku menatap Serya dengan penuh pertanyaan di otakku.
Sekarang aku dan Serya sudah ada di dalam mobil. Berdua.
***

"Serya mau ngapain sih? Ngapain dia megang-megang tangan Reha?", kata Ibe menahan marah.
"Tenang aja, Mas. Serya ngga bakal berani macem-macem.", Dean berusaha menenangkan.
"Waaaaah. Mbak Reha enak ya. Jadi cewek yang kaya di sinetron-sinetron gitu. Aku baru pertama kali nih liat adegan kaya gini di dunia nyata. Mas yang sama Mbak Reha itu romantis yaaa."
"Perasaannya Reha pasti lagi ngga enak banget sekarang. Itu si Serya ngapain sih pake acara dateng lagi ke hidupnya Reha?", Mala ikut bicara.
"Udahlah, kita liat aja Serya sama Mbak Reha bakal kaya gimana.", Gia berusaha menenangkan.
***

Beberapa menit aku dan Serya terdiam. Aku bingung harus berkata apa, padahal tadinya aku sudah merangkai banyak kata untuk menyerangnya. Serya juga masih terdiam, mungkin dia bingung harus memulai darimana.
"Mau sampai kapan diem-dieman kaya gini?", kataku akhirnya memecah keheningan.
"Maaf. Serya mau ngomong, Re. Tapi bingung mulai darimana."
Tuh kan! Ini anak apadeh yaa. Dia yang ngajakin ngomong, tapi dia yang bingung. Duh!
"Serya mau ngomong apa? Kalau Serya ngga mulai ngomong, mending Reha pulang aja nih. Udah ngga jaman ya jadi cowok cemen."
"huuuuffft!!! Oke, Re. Serya ngomong sekarang. Tapi tolong jangan dipotong, dengerin Serya ngomong sampai selesai. Ya?"
"Iya. Serya bawel deh. Mau ngomong apa?"
"Serya mau minta maaf sama Reha. Tunggu, diem! Biarin Serya selesein omongin Serya dulu!", kata Serya setelah melihat gelagatku yang ingin menjawab kata-katanya.
Duuuh basi banget deh minta maaf. Bukannya dulu juga udah pernah minta maaf? Lagian aku juga udah maafin kok. Ini cowok kesurupan malaikat mana siiihhhh! Oke, aku ngga boleh komentar. zzz
"Serya tahu ini aneh. Serya tahu pasti Reha udah males dengerin kata-kata Serya. Serya cuma mau minta maaf. Dulu Serya sia-sian Reha, ngjauh dari Reha padahal Reha itu masih pacar Serya, ngboongin Reha, seenaknya ama Reha, maaf banget. Serya akuin, dulu Serya bohong. Serya pengen putus ama Reha bukan karena urusan keluarga, tapi emang karena Serya masih pengen cari cewe yang lain. Okeee iya iya Serya salah. Salah banget. Makanya Serya dateng ke Reha mau minta maaf. Please, Reha..." ucap Serya hati-hati.
"Udah nih ngomongnya? Reha udah boleh ngomong?", kataku setelah Serya terdiam.
"Belum. Tolong kasih kesempatan Serya buat atur napas dulu dong."
Aku menahan senyum mendengar kata-katanya.
"Oke. Serya sekarang sadar, Serya bego banget nyia-nyiain cewe sebaik dan sesabar Reha. Dulu Serya pikir kalau Serya ngga nghubungin Reha, Reha bakal bosen trus mutusin Serya, tapi ternyata Reha malah sabar banget. Serya pengen perbaikin kesalahan Serya ke Reha. Serya ngga mau lagi nyia-nyiain Reha."
Serya menghela napas sejenak. Lalu melanjutkan.
"Reha, Serya serius ama kata-kata Serya malem ini. Serya udah ngga bisa nahan ampe besok-besok lagi. Serya..."
Tiba-tiba hape ku berdering, Serya berhenti bicara. Ada sms masuk. Dari Mas Awin.

Reha udah di rumah? Tadi Mas Awin lihat temen-temen remaja di depan Mushola, tapi
Reha ngga ada.

Aku melihat ke arah Serya tanpa membalas pesan dari Mas Awin. Aku harus menyelesaikan urusan ini satu per satu. "Lanjutin, Ya."
"hmmm. Reha pasti udah muak banget, udah males, udah bosen banget ya liat tingkahnya Serya. Serya ngerti. Tapi Serya minta kesempatan satu kali lagi. Please, Re.."
KESEMPATAN katanyaaaa??? Seingatku waktu kita pacaran, itu adalah kesempatan kedua setelah bertahun-tahun yang lalu dia menghilang gitu aja sebelum kita sempat pacaran. Ini cowok otaknya dibuat dari apa sih. Cowok stress!!!!
"Re, kita ulang dari awal lagi ya? Mungkin ini terlalu cepet & mendadak, tapi Serya serius, Re. Reha mau jadi..."
"Cukup, Ya! Cukup! Please ngga usah dilanjutin!", kataku memotong kata-katanya.
Hatiku sudah cukup dibolak-balik olehnya sejak dulu. Mau sampai kapan dia seenaknya dateng trus pergi trus dateng lagi kaya gini. Napasku sudah ngga teratur kaya gini, jujur deg-degan, tapi ini ngga boleh diterusin, sebelum dia berhasil bikin pertahanan ku runtuh.
"Oke. Sekarang giliran Reha ngomong.", kataku mengambil alih pembicaraan.
"Pertama, Serya seharusnya ngga usah minta maaf. Ngga perlu ngakuin ini itu. Reha udah tahu dan Reha udah bener-bener maafin Serya. Reha sama sekali ngga dendam."
"Kedua, Serya minta kesempatan? Asal Serya tahu, Serya itu cowok yang paling banyak dapet kesempatan buat berubah dari Reha. Tapi apa? Serya ngga bisa berubah jadi lebih baik. Serya tetep sia-siain Reha. Kalau kesempatan itu untuk jadi sahabat Reha kaya dulu, kesempatan itu bakal selalu ada. Tapi kalau kesempatan untuk mulai hubungan pacaran dari awal lagi, itu ngga bakal mungkin."
Aku mencoba mengatur napas. Aku terlalu emosi, tapi aku berhasil berbicara dengan tenang.
"Abis putus dari Reha, Serya punya banyak gebetan kan? Serya cepet banget bisa pacaran ama cewek lain kan? Terus kenapa sekarang harus dateng lagi ke Reha dengan cara kaya gini? Serya sadar ngga, ini malah bikin Reha makin sakit. Selama ini Serya mikir apa siiihhh???"
Aku terengah-engah, seperti habis lari berkilo-kilo meter. Perasaanku kacau, otakku penuh.
"Re, maaf. Cuma maaf yang bisa Serya bilang. Serya emang sempet pacaran, tapi Serya sadar ngga ada yang sesabar Reha. Reha mau tahu kenapa Serya bener-bener kukuh kaya gini? Reha mau tahu apa yang bikin Serya punya nyali ketemu Reha?", Serya membela diri.
"Hmmm? Apa?", tantangku.
"Ini. Tasbih ini.", kata Serya sambil mengeluarkan tasbih dari dalam kantongnya.
Aku terhenyak. Tasbih kecil itu, tasbih pemberianku untuk Serya saat kita baru putus. Masih tersimpan dengan baik. Lagi-lagi aku menghela napas.
"Makasih masih disimpen, Ya. Tapi apapun alasan Serya, Reha tetep ngga bisa ngasih kesempatan itu lagi. Reha ngga mau. Reha ngga bisa."
Serya terdiam.
"Gini, Serya. Sekarang, ambil hikmahnya. Dulu, Serya pernah bilang kan kalau kita salah udah pacaran? Iya, kita salah. Ngga seharusnya kita pacaran. Kita emang ditakdirin buat jadi sahabat, selamanya. Serya tahu? Reha bakal bahagia banget kalo bisa deket lagi ama Serya kaya dulu, sebagai sahabat. Ngerti? Itu jauh lebih bikin kita lega dan seneng, Ya. Sahabat bakal ttp ada selamanya, tapi pacar masih ada kemungkinan buat putus kan? Please Serya ngertiin Reha..", kataku panjang lebar.
Serya terdiam. Dia melihat lurus ke dalam mataku. Kemudian, Serya tersenyum.
"Serya sayang sama Reha."
"Yaiyalaaah Serya sayang ama Reha. Masa iya udah temenan dari SD tapi Serya ngga sayang ama Reha? Waaah parah ituuuu!", kataku sambil tertawa kecil mencoba mencairkan suasana.
"Serya emang ngga bisa ngubah pendirian Reha. Thanks banget udah nyadarin Serya. Serya masih bisa deket ama Reha khan? Masih bisa ngajakin Reha jalan? Yah, walaupun sebagai sahabat aja?"
"Bisaaaa dong. Serya kan sahabatnya Reha, masa ngga bisa deket ama Reha. Asal deketnya bukan karena pacaran oriented yaaa. Tapi kalo ngajak Reha jalan? Waaah itu sih tanya Dean deh."
"Tanya Dean? Ngumpulin nyali dulu deh.", kata Serya sambil menggaruk kepalanya pura-pura kebingungan.
Aku dan Serya tertawa bersama. Tertawa lepas tanpa beban.
Mungkin teman-temanku heran melihat bayangan kita yang tertawa di dalam mobil.
"Untuk persahabatan Serya dan Reha.", kata Serya sambil mengulurkan kelingkingnya.
Aku tersenyum. Ini dulu kebiasaan aku dan dia kalau mengucapkan janji.
"Sahabat, selamanya.", kataku sambil menautkan kelingkingku di jari kelingkingnya.
***

"Gimana, Mbak? Kamu diapain sama dia? Kok mukanya kamu seneng banget? Pacaran lagi ya?" Dean menyerangku dengan pertanyaan setelah aku kembali.
"Kamu kelihatan terlalu baik-baik aja, Re. Semakin kamu kelihatan baik-baik aja, aku semakin khawatir..", ucap Ibe.
"Lihat sendiri kan? Aku baik-baik aja. Baik banget malah. Aku ngga pacaran lagi kok sama Serya, Dean. Ini justru lebih baik dari sekedar pacaran.", kataku dengan senyum lebar.
"Tolong jelasin, Re.", kata Mala ngga sabar.
"Guys, terkadang persahabatan jauh lebih baik daripada pacaran, walaupun orang itu adalah orang yang kita harapkan jadi pacar kita. Aku ama Serya udah balik. Balik jadi sahabat yang deket kaya dulu. Kalian tahu gimana senengnya bisa nemuin lagi sahabat yang sempet ilang?? Seneng banget!", kataku dengan semangat.
Teman-teman bengong mendengarkan ceritaku. Sampai akhirnya Dean buka suara "Bagus. Kamu hebat, Mbak."
Dan senyum itu satu per satu muncul di wajah teman-temanku, termasuk Ibe. Terima kasih Tuhan. Terima kasih, Serya.
***

Kasur ini terasa begitu nyaman. Kenyamanan yang sepertinya sudah lama tidak aku rasakan. Malam ini melelahkan sekaligus melegakan. Malam ini banyak pelajaran tapi membahagiakan. Tiba-tiba lamunanku tersadar karena suara dering hape. Ada telepon. Nama Mas Awin tertera di layar hape.
"Yaampuun, lupa bales smsnya Mas Awin..", gumamku sambil menepuk jidat.
"Assalamu'alaikum", jawabku.
"Wa'alaikumsalam. Udah tidur ya, Re?"
"Belum, Mas. Maaf ya lupa bales sms. Tadi ada urusan sih."
"Iya ngga apa-apa. Aku nelpon jg cuma mau make sure kamu ngga kenapa-kenapa kok. Yaudah deh istirahat ya, Re."
"Iya, Mas. Makasih ya. Malem. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Telepon terputus. Satu lagi alasanku untuk bahagia. Mas Awin dan perhatiannya.
***

Aku di sini. Tiba di waktu ini. Waktu di mana aku, Reha, bahagia dengan semua yang Tuhan berikan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak bahagia, tapi saat ini aku sepertinya tidak ingin apa-apa lagi selain mempertahankan keadaan ini.
Aku bahagia karena Serya. Karena sahabatku yang sempat hilang telah kembali. Bahkan jauh lebih dekat dan menjadi lebih baik. Dean sudah tidak membenci Serya, walau kadang dia agak ketus menanggapi omongan Serya. Tapi setidaknya, Serya sudah membuktikan kalau dia benar-benar sudah berubah, dan berhasil menjadi sahabatku, selamanya, sesuai janji kelingking kita.
Aku bahagia karena Mas Awin. Tanpa perlu ku tulis, sepertinya kalian sudah tahu bagaimana kisah ku dan Mas Awin selanjutnya. :)
Ya, Mas Awin adalah ia yang aku cintai. Aku membutuhkannya, karena aku menyayanginya. Tak ada alasan untuk aku menolak rasa bahagia yang dia datangkan. Karena ia juga menyayangiku, melebihi apapun, kecuali Bundanya tentu saja.
Lalu bagaimana dengan Mama dan Papaku? Mereka bahagia selama aku bahagia. Jadi inilah kebahagianku orang tuaku, inilah kebahagianku.
Bagaimana dengan Ibe? Yah, dia memang sempat mengucilkanku karena pada akhirnya aku memutuskan menjalin hubungan serius dengan Mas Awin. Bukan, bukannya aku bahagia di atas penderitaan Ibe. Tapi Ibe sendiri sebenernya sudah punya pacar dan seharusnya Ia bahagia dengan pacarnya. Ya, nanti dia akan merasakan bahagia itu, pasti.
Tanpa kusangka hanya dalam satu malam di awal Ramadhan dapat membuatku merasa sebahagia ini. Terimakasih Tuhan. Terima kasih Ramadhan. Terima kasih kalian teman-teman terbaikku.
"Selamat datang, Bahagia...."






















0 komentar:

Posting Komentar

 
imacokladh Blogger Template by Ipietoon Blogger Template